Tiap kali mentari senja merembeskan cahayanya
kedalam kedua bola mata para pengembara,
perantau atau mereka sang pengarung lautan,
maka sebuah kisah yang telah terpatri akan terbongkar kembali.
Dan dalam tiap diri tersembunyi kisah yang berbeda.
Tak terkecuali aku,
yang sedang menatap senja yang kian menjingga
Tiap kali mentari senja mengintip dari balik jendela,
benakku dengan lihai menarik satu memori yang berotasi dalam kepala.
Mengingatkanku pada masa bahagia yang terlampau bersamamu.
Yang tak dapat lagi kurasa tuk sementara waktu.
Suara gelak tawa dan canda seorang Ibu dan anak gadisnya.
Diantara kepulan asap masakan kala itu.
Maka saat takbir menggema bertalu-talu, menyulap jalanan
yang lengang menjadi penuh sesak, tapi
tak kutemukan engkau disampingku, Ibu, aku meraung sepi.
Tiap kali mentari senja menelusup masuk diantara serat serat tirai jendela,
aku terlempar jauh pada masa dimana
engkau selalu mengajariku banyak tentang petuah petuah kehidupan
dari balik kemudi mobilmu.
Yang kini tak dapat lagi kudengar langsung tanpa adanya mesin perantara.
Perasaan cinta dan percaya
yang terselimuti nada bicaramu yang tegas.
Satu-satunya hal yang sangat ingin aku dengarkan dalam kesendirian.
Maka saat senja kian meredup,
kala anak anak kecil berlarian, menggema takbir dengan riang, tapi
tak terdengar sayup takbirmu didekatku, Ayah, aku meringkuk pilu.
Maka, Yah, Bu, bohong jika aku bilang tak rindu.